HUBUNGAN ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN MASYARAKAT
Filsafat Ilmu Kelas B
Disusun Oleh :
Kelompok 9
Iklil Sulaiman ( 162110101202 )
Amanul Ardhi F (
162110101237 )
Rikka Ikkawati ( 162110101174 )
Nurul Muasomah (162110101125 )
Vivi Nur Fadhillah (162110101043 )
Rizka Ayu Kartika (162110101082 )
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah tentangHubunganEtika
dan Hukum Kesehatanini dengan baik. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Kami berterima kasih kepada BapakWajihudin
S.pd., M.Hum selaku Dosen mata kuliah Filsafat Ilmu Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember yang telah mendorong dan membantu kami dalam
penyusunan makalah ini.Dalam proses pengerjaan makalah, penyusun telah mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu pula disampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini.Diharapkan karya tulis ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Makalah ini telah kami susun secara optimal. Namun, kritik
dan saran pembaca dibutuhkan oleh penyusun untuk penyempurnaan karya tulis ini.
Jember, 25 November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kesehatan adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan,
rohani (mental) dan sosial, bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat
dan kelemahan. Kesehatan merupakan merupakan hal yang sangat penting karna
tanpa kesehatan manusia tidak akan bisa melakukan aktivitasnya.
Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur
kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan pembangunan manusia. Kesehatan yang
sangat penting ini tidak di ikuti dengan pelayanan kesehatan serta perlindungan
terhadap kesehatan, masih banyak terjadi malpraktek yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan serta penelantaran masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit atau puskesmas.
Etika dan hukum merupakan salah satu solusi untuk
mengurangi masalah yang terjadi ditengah masyarakat dan mengatur tertibnya hidup
bermasyarakat dalam bidang kesehatan. Etika berperan dalam menjaga sikap atau
tingkah laku tenaga kesehatan dalam melayani masyarakat. Hukum berperan menjaga
dan menjamin keamanan masyarakat dalam memperoleh pelayanan masyarakat dengan
baik. Berdasarkan uraian diatas makalah ini akan membahas etika dan hukum
kesehatan masyarakat.
1.2
Rumusan masalah
1
Bagaimana
hubungan etika dengan filsafat?
2
Bagaimana
hubungan hukum dengan filsafat ?
3
Bagaimana
hubungan etika dan hukum kesehatan masyarakat?
1.3 Tujuan
1
Mengetahui
hubungan etika dengan filsafat.
2
Mengetahui
hubungan hukum dengan filsafat.
3
Mengetahui
hubungan etika dan hukum kesehatan masyarakat.
1.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika dan Hukum dalam Filsafat
2.1.1 Pengertian Filsafat
Filsafat
merupakan cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori yang sering
tidak bertujuan praktis, tetapi teoretis. Filsafat selalu memandang sebab-sebab
terdalam, tercapai dengan akal budi murni. Filsafat membantu untuk mendalami
pernyataan asasi manusia tentang makna realitas dan ruang lingkupnya yang dapat
dipelajari secara sistematik dan historis.
Kata filsafat
berasal dari bahasa Yunani kuno: Philosophia, yang terdiri atas dua kata :
philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah,
kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensia).
Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran
(love of wisdom). Orang yang berfilsafat disebut filosof yang dalam bahasa Arab
disebut failasuf.
Filsafat adalah ilmu yang mencintai dan
mencari kebijaksanaan, atau pengetahuan mengenai semua hal melalui sebab-sebab
terakhir yang didapati melalui penalaran atau akal budi. Ia mencari dan
menjelaskan hakekat dari segala sesuatu. Oleh karena itu Filsafat pada
perisipnya adalah induk semua ilmu, demikian kata kaum filosof. Pada awalnya,
cakupan obyek filsafat memang jauh lebih luas dibandingkan dengan ilmu.Keterbatasan
ilmuhanya pada objek kajian yang bersifa tempiris saja, sementara obyek kajian filsafat
mencakupi seluruhnya yaitu baik yang bersifat empiris maupun yang bersifat
non-empiris. Dalam perjalanan selanjutnya, ilmu semakin berkembang dengan pesatnya
sehingga ilmu itu sudah terlepas dari induknya dan menyebabkan tindakan ilmu semakin
liar, arogan dan kompartementalisasi antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu
lainnya.Dengan kondisi seperti itu, diperlukan pemersatu visi keilmuan dari berbagai
disiplin ilmu. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan diharapkan dapat berperan
kembali sebagaimana fungsinya untuk mengayomi semua bidang ilmu agar dapat berjalan
pada jalurnya yaitu ilmu untuk kemaslahatan manusia.
1.
Ruang
Lingkup Filsafat Ilmu
Menurut Burhanuddin
(2013), objek dari ilmu itu sendiri adalah ilmu merupakan suatu berkah
penyelamat bagi umat manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak
mengenal baik buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai sikap,
atau dengan kata lain, netralitas ilmu terletak pada epistemologinya, jika
hitam katakan hitam, jika putih katakan putih; tanpa berpihak pada siapapun
selain kebenaran. Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang
dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis (esensi, hakikat, obyek telaah),
epistemologis (cara, proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis (manfaat,
guna, untuk apa). Ruang lingkup filsafat ilmu Invalid source specified. terutama diarahkan
pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
a.
Ontologi ilmu
Ontologi ilmu
meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang koheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang
apa dan bagaimana sebuah kebenaran itu. Paham monisme yang terpecah menjadi
idealisme atau spiritualisme, paham dualisme, pluralisme dengan berbagai
nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirya menentukan pendapat
bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana kebenaran itu
ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
b.
Epistemologi
ilmu
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara
mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan
mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan
perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal
budi (vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman,
intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal
adanya model model epistemologik
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagaimana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik beserta tolak
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu sepadan teori koherensi, korespondesi,
pragmatis, dan teori intersubjektif.
c.
Aksiologi
llmu
Aksiologi adalah filsafat yang secara khusus mengkaji
cita-cita, sistem nilai atau nilai-nilai mutlak (tertinggi), yaitu nilai-nilai
yang dianggap sebagai “tujuan utama”. Nilai-nilai ini dalam filsafat adalah
al-haq (kebenaran), kebaikan dan keindahan. Oleh karena itu pembahasan tentang
filsafat nilai ini dibagi menjadi tiga bagian:
1)
Logika (membahas nilai kebenaran yang
membantu kita pada komitmen kebenaran dan menjauhi kesalahan)
2)
Etika/filsafat moral (membahas nilai
kebaikan, kewajiban dan tanggungjawab moral)
3)
Ilmu estetika (membahas nilai
keindahan).
4)
Humanologi, membahas hubungan antar
manusia.
2.1.2 Pengertian Etika
A. Etika Secara Umum
Etik berasal dari Yunani yaitu Ethos yang berarti akhlak, adat kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Etik bukan berasal dari ajaran
tentang moral melainkan merupakan cabang ilmu filsafat mengenai suatu
penelitian kritis dan mendasar dari yang baik, yang pantas dan benar dari
ajaran moral. Dengan demikian etik merupakan suatu ilmu bukan merupakan suatu
ajaran, maka didalam banyak kepustakaan etik dinamakan sebagai filsaat moral
(moral philosophy). Frans Magnis Suseno (1995) mengilustrasikan dengan : “
Ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagi kita merawat motor
dengan baik, sedangkan etik memberikan pengertian tentang struktur dan
teknologi sepeda motor tersebut”.
B. Etika Dalam Kesehatan
Etikamenurut Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul
dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama
filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etikamencakupanalisisdanpenerapankonsepsepertibenar,
salah, baik, buruk, dantanggungjawab.St.
John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis
(practical philosophy).
Etika
dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat
orang lain. Untuk itulah diperlukan etika,
yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Etika
juga diartikan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia yang
meyelidiki tingkah laku moral. Terdapat tiga pembagian dalam etika:
1) Etika deskriptif
Disini
etika dilukiskan dalam bentuk tingkah laku moral dalam arti luas, tidak memberi penilaian tetapi
gambaran terhadap individu-individu tertentu pada subkultur tertentu.
2) Etika normatif
Etika
ini bersifat prespektif atau memerintah, menampilkan argumentasi atau dasar norma
yang etis dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
3) Metaetika
Metaetika
mempelajari logika khusus dari ucapan etis, mempersoalkan bahasa normative dan mengarah
pada arti khusus dari bahasa etika.
Etika
profesi sangat dibutuhkan dan diutamakan dalam memberikan pelayann terhadap
public. Etika profesi yaitu perilaku yang diharapkan bagi setiap anggota profesi
untuk bertindak dengan kapasitas profesionalnya.
1.
Prinsip
dalam etika Invalid source specified.:
a)
Normaleficence, yang berarti tidak merugikan atau tidak menimbulkan bahaya
baik fisik maupun psikologis pada pasien. Prinsip ini menganggap bahwa tenaga
kesehatan dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan harus senantiasa dilandasi
dengan niat untuk membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya.
b)
Beneficience,
berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Berdasrkan prinsip ini, tenaga
kesehatan memberikan upaya pelayanan kesehatan dengan menghargai otonomi
pasien. Hal ini dilakukan sesuai dengan tingkat kemampuan dan keahliannya.
c)
Confidentiality, berarti kerahasiaan atau informasi tentang pasien pasien
harus dirahasiakan dan dijaga privasinya, kecuali jika pasien mengizinkan atau
atas perintah undang-undang untuk kepentingan pembuktian dalam persidangan.
d)
Justice,
yang berarti keadilan. Prinsip ini dibutuhkan untuk perlakuan yang sama dan
adil terhadap orang lain yang menjunjung tinggi nilai moral, legal dan
kemanusiaan. Prinsip ini tidak mengenal ras, suku, golongan maupun kedudukan
social ekonomi pasien.
e)
Fidelity,
dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain.
Tenaga kesehatan setia pada komitmennya yang merupakan kewajiban terhadap apa
yang telah ia buat termasuk bertanggung jawab terhadap pemulihan dan peningkatan
derajat kesehatan seorang pasien dan meminimalkan penderitaan pasien.
2.
Aliran
dalam Etika.
A. Naturalisme
Yang menjadi ukuran (kriteria) baik dan buruknya perbuatan
manusia menurut aliran etika naturalisme, ialah perbuatan yang sesuai dengan
fitrah (naluri) manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun bathin.
Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan bagi setiap manusia
didapat dengan jalan memenuhi panggilan natur atau kejadian manusia itu
sendiri. Itulah sebabnya, aliran tersebut dinamakan “Naturalisme”.
Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu dalam dunia ini
menuju kepada suatu tujuan tertentu. Dengan memenuhi panggilan natur setiap
sesuatu akan dapat sampai kepada kesempurnaan. Benda-benda dan tumbuh-tumbuhan
juga termasuk didalamnya, juga menuju kepada tujuan yang satu, tetapi dapat
dicapainya secara otomatis tanpa pertimbangan atau perasaan. Hewan menuju
kepada tujuan itu dengan naluri kehewanannya, sedang manusia menuju tujuan itu
dengan akal fikirannya. Karena akal itulah yang menjadi wasilah bagi manusia
untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan kewajibannya
dengan berpedoman kepada akal. Akallah yang menjadi pedoman hidupnya. “Naluri
itulah jalan yang lurus”, dimana akal sebagai suluh yang meneranghi menuju
tujuan kesempurnaan.Sebagai contoh lama aliran ini ialah Zeno (340-264 SM).
Seorang ahli fikir Yunani yang terkenal dengan perguruan dan aliran “Stoa”. Dia
menandaskan bahwadirinya adalah bahagian daripada alam fithrah (natur).
B. Hedonisme
Adapun yang menjadi ukuran baiknya suatu perbuatan menurut
aliran Hedonisme ialah perbuatan yang menimbulkan “hedone” (kenikmatan atau
kelezatan). Menurut pandangan aliran ini, manusia selalu menginginkan kelezatan
(hedone), bahkan hewan juga demikian yang didorong oleh tabi’atnya. Karena
kelezatan itu merupakan tujuan hidup manusia, maka jalan yang mengantarkan
kesana dipandangnya sebagai keutamaan (perbuatan mulia)/ Sebagai contoh utama
aliran Hedonisme ialah Epikuros (341-270SM). Diterangkan ada tiga macam
kelezatan, yaitu :
1)
Kelezatan yang wajar dan diperlukan
sekali, seperti makanan dan minuman.
2)
Kelezatan yang wajar tetapi belum
diperlukan sekali, misalnya kelezatan makananenak lebih daripada biasanya.
3)
Kelezatan yang tidak wajar dan tidak
diperlukan, yang dirasakan oleh manusia atas dasar fikiran yang salaha,
misalnya kemegahan harta benda. Tetapi kata Epikuros, lezat yang kita cari
haruslah kelezatan yang sesungguhnya, karena diantara kelezatan ada yang
mempunyai akibat yangjustru bertentangan dengan kelezatan , yakni penderitaan.
Dengan demikian kelezatan yang dicarinya adalah kelezatan yang tidak
mengakibatkan penderitaan.
C. Utilitarisme
Sesuai dengan nama aliran ini, maka yang menjadi prinsip
baginya ialah kegunaan (utility) dari perbuatan teesebut. Jadi aliran ini
menilai baik buruknya sesuatu perbuatan atas dasar besar kecilnya manfaat yang
ditimbulkannya bagi manusia. Tokoh aliran ini ialah John Stuart Mill
(1806-1873) yang menandaskan bahwa kebaikan yang tertinggi (Summun Bonum) ialah
utility (manfaat). Sebagai akibat dari pendirian etika utilitarisme, maka
segala tingkah laku manusia selalu diarahkan kepada pekerjaan yang membuahkan
manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam hubungan ini J.S.Mill menerangkan tentang
utility yang dikehendakinya :“Utility is happiness for the greatest number of
sentiment being” (kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya).
Dengan demikian tujuan Utilitarisme ialah mencari kesempurnaan hidup sebanyak
mungkin baik dari segi quality maupun segi quantity. Jadi tujuannya adalah
kebahagiaan (happiness) orang banyak. Pengorbanan misalnya dipandang baik jika
mendatangkan manfaat. Lain dari pada itu hanyalah pengorbanan sia-sia belaka.
D. Idealisme
Tokoh utama aliran ini ialah Immanuel Kant (1725-1804).
Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1)
Wujud yang paling dalam dari kenyataan
(hakikat) ialah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena
dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasaa
kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu
dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam nurani manusia.
2)
Faktor yang paling penting mempengaruhi
manusia ialah kemauan yang melahirkan tindakan konkrit. Dan yang menjadi pokok
disini ialah kemauan baik.
3)
Dari kemauan yang baik itulah
dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu “rasa kewajiban”.
E.
Vitalisme
Aliran etika vitalisme berpendirian bahwa yang menjadi baik
buruknya perbuatanmanusia harus diukur ada tidaknya daya hidup (vitalitas)yang maksimum
yang mengendalikan perbuatan itu ; yang dianggap baik menurut aliran ini ialah
orang kuat yang dapat memaksakan kehendaknya dan sanggup menjadikan dirinya
selalu ditaati. Dapat dikatakan bahwa aliran ini berusaha mengembangkan salah
satu kekuatan naluri dalam diri manusia yakni instinct berjuang (Combative
Instinct). Tokoh utamanya ialah Friedrich Neitzche (1844-1900) yang filsafatnya
menonjolkan eksistensi manusia baru sebagai “Ubermensch” (manusia sempurna)
yang berkemauan keras menempuh hidup baru. Filsafatnya bersifat atheistis,
tidak percaya kepada Tuhan dan sebagai konsekwensi pendiriannya dia berjuang
menentang gereja di Eropa.
F.
Aliran Theologis
Aliran ini
berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik buruknya perbuatan manusia,
didasarkan atas dasar ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan atau
dilarang oleh-Nya. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik
dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, itulah perbuatan buruk, yang
sudah dijelaskan dalam kitab suci. Dengan perkataan lain Theologis (Ketuhanan)
saja nampaknya masih samar, karena di dunia ini terdapat bermacam-macam agama
yang mempunyai kitab suci sendiri-sendiri, yang antara satu dengan yang lain
tidak sama, bahkan banyak yang bertentangan. Masing-masing penganut agama
mengakui dirinya bersandarkan ajaran Tuhan. Sebagai jalan keluar dari kesamaran
itu ialah dengan jalan mengkaitkan etika theologies ini dengan jelas kepada
suatu agama, misalnya etika theologis Kristen, etika theologis Yahudi dan etika
theologis Islam. Hal ini dilakukan oleh ahli-ahli filsafat mengingat perkataan
theologis menurut pandangan mereka masih bersifat umum, sehingga perlu ada
kejelasan etika theologis mana yang dimaksudkan. Demikianlah apabila kita
bicara mengenai aliran-aliran etika. Adapun etika theologi menurut Islam, ialah
etika yang betul-betul bersumber dari Allah SWT yaitu prinsip-prinsip etika
yangtercantum dalam firman-firmanNya atau ajaran-ajaranNya yang disampaikan
kepada Nabi-Nabinya.
2.1.3 Kode Etik Kesmas
Profesi
seorang Kesmas yang nantinya akan banyak melakukan penyuluhan terhadap
lingkungan langsung kepada masyarakat, maka perlu mengetahui dan memegang tegus
kode etik keprofesiannya. PKM (Health
Education Specialis) atau Penyuluh kesehatan Masyarakat Invalid source specified. adalah seseorang
yang menyelenggarakan advokasi, bina suasana, dan pemberdayaan masyarakat
melalui penyebarluasan informasi, membuat rancangan media, melakukan
pengkajian/penelitian perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan,
serta merencanakan intervensi dalam rangka mengembangkan perilaku masyarakat
yang mendukung kesehatan.
Kode Etik Profesi PKM
:
a) Menunjukkan secara seksama kemampuan sesuai dengan
pendidikan, pelatihan dan pengalaman, serta bertindak dalam batas-batas
kecakapan yang profesional.
b) Mempertahankan kecakapan pada
tingkatan tinggi melalui belajar, lelatihan, dan penelitian berkesinambungan.
c) Melaporkan hasil penelitian dan
kegiatan praktik secara jujur dan bertanggung jawab.
d) Tidak membeda-bedakan individu
berdasrkan ras, warna kulit, bangsa, agama, usia, jenis kelamin, status social
ekonomi dalam menyumbangkan pelayanan-pekerjaan, pelatihan atau dalam
meningkatkan kemajuan orang lain.
e) Menjaga kemitraan
klien ( individu, kelompok, institusi) yang dilayani.
f) Menghargai hak
pribadi (privacy), martabat (dignity), budaya dan harga diri setiap individu,
dan menggunakan keterampilan yang didasari dengan nilai-nilai secara konsisten
g) Membantu
perubahan berdasarkan pilihan, bukan paksaan.
h) Mematuhi prinsip “informed
consent” sebagi penghargaan terhadap klien.
i) Membantu
perkembangan suatu tatanan pendidikan yangmengasuh/memelihara pertumbuhan dan
perkembangan individu.
j) Bertanggung jawab untuk
menerima tindakan/hukuman selayaknya sesuai dengan pertimbangan mal praktek
yang dilakukan.
1.
Problemastika
Kode Etik Kesmas
a.
Penegakan kode etik Invalid source specified. :
Bentuk Penegakan kode
etik :
i.
Pelaksanaan kode etik
ii.
Pengawasan kode etik
iii.
Penjatuhan saksi kode etik
Menurut Noto Hamidjo 4 norma dalam penegakan kode etik:
i.
kemanusiaan
ii.
KeadilaN
iii.
Kepatutan
iv.
Kejujuran
b.
Sanksi kode etik
i.
Teguran baik lisan maupun tulisan
ii.
Mengucilkan pelanggar dari kelompok
profesi
iii.
Memberlakukan tindakan hukum dengan
sanksi keras
c.
Faktor penghambat kode etik
i.
Pengaruh Sifat Kekeluargaan
ii.
Pengaruh jabatan
iii.
Pengaruh konsumerisme
iv.
Karena lemah iman
d.
Peradilan dalam profesi
i.
Peradilan profesi dipimpin komisi etik
ii.
Komisi etik terdiri 3 orang dan
dipimpin oleh pimpinan profesi
iii.
Pelanggar etik didampingi penasehat
etik
iv.
Pelanggaran kode etik disampaikan oleh
penuntut kode etik
v.
Putusan pelanggaran kode etik
ditetapkan oleh komisi etik.
e.
Mekanisme persidangan
i.
Pemanggilan pelanggar kode etik
ii.
Pemeriksaan kode etik
iii.
Persidangan kode etik
iv.
Penyampaian bentuk pelanggaran dan
sanksi yang dikenakan
v.
Pembelaan oleh pelanggar kode etik
vi.
Pembuktian
vii.
Putusan
2.1.3 Pengertian Hukum
A. Pengertian
Hukum Secara Umum
Hukum adalah peraturan, ketentuan, dan ketetapan yang telah
disepakati oleh masyarakat dan para penegak hukum, yang harus dilaksanakan
sebaik-baiknya. Hukum mengandung sanksi tertentu untuk diterapkan pada
pelanggar hukum. Menurut Utrecht, orang menaati hukum karena berbagai alasan,
yaitu:
1.
Merasa
bahwa peraturan sebagai hukum dan merasa berkepentingan pada berlakunya
peraturan tersebut
2.
Mengejar
hidup yang tenteram, dan hanya dengan menaati hukum ketenteraman hidup dapat
diraih. Sebaliknya, yang melanggar hukum akan mendapatkan kesengsaraan karena
telah disiapkan sanksi hukumnya.
3.
Masyarakat
menghendakinya. Pada realitas kehidupan masyarakat, pentingnya hukum baru
dirasakan ketika pelanggar hukum mengalami sanksi hukum. Hukum baru dikehendaki
keberadaannya jika sisi kehiduapannya terganggu oleh orang lain, atau merasakan
adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh peraturan hukum yang
ada.
4.
Adanya
paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau khawatir dituduh sebagai
orang yang asosial apabila melanggar kaidah sosial/hukum.
Hukum memiliki
beberapa unsur. Unsur-unsur hukum meliputi hal-hal berikut:
1.
Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
2.
Peraturan
diadakan oleh badan-badan resmi yangberwajib;
3.
Peraturan
bersifat memaksa;
4.
Sanksi
yang tegas terhadap pelanggaran.
Di
setiap negara hukum terdapat ciri-ciri yang khas, yaitu:
1.
Pengakuan
dan perlindungan hak-hak manusia;
2.
Adanya
peradilan yang bebas, mandiri, dan tidak memihak;
3.
Adanya
pembagian kekuasaan dalam sistem pengelolaan kekuasaan negara;
Berlakunya asas legalitas hukum dalam segala bentuknya, yaitu semua
tindakan negara harus didasarkan atas hukum yang sudah dibuat secara
demokratis, hukum yang dibuat itu adalah “supreme” atau diatas segala-galanya,
dan semua orang sama kedudukannya di hadapan hukum.
B. Pengertian Hukum Kesehatan
Dalam
era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan,
diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggara berbagai kegiatan di bidang
kesehatan.
Perubahan konsep pemikiran penyelenggara
pembangunan kesehatan mengalami dinamisasi, pada awalnya pembangunan kesehatan
bertumpu pada upaya pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif),bergeser pada penyelenggara upaya kesehatan yang menyeluruh
dengan penekananan pada upaya pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan
kesehatan (promotif). Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai
paradigma sehat (faiq Bafien,2010).
Sebagai konsekuensi logis dari
diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apa pun harus berorientasi
pada wawasan kesehatan, tetap dilakukanya pemeliharaan dan peningkatan kualitas
individu, keluarga, dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus-menerus
memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan
terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
Kegiatan-kegiatan upaya kesehatan
(preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif) memerlukan perangkat hukum
kesehatan yang memadai. Hal itu dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan
perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun
masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah
yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum
kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa
mendatang.
Seperti dijelaskan disiplin hukum
kesehatan adalah disiplin hukum yang baru berkembang beberapa dekade tahun
terakhir ini. Dulu hanya dimasukkan dalam mata kuliah pilihan di fakultas hukum.
Tetapi dengan berkembangnya ilmu dan teknologi dalam pelayanan kesehatan,
berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajibannya, serta
didengung-dengungkan di media massa akan humaniora, etika, moral, hak dan
kewajiban antara pasien dan tenaga kesehatan, mulai banyaknya “lawyer” yang
memahami akan adanya kelalaian-kelalaian yang melanggar hukum yang baik sengaja
maupun tidak sengaja di lakukan oleh tenaga kesehatan. Mau tidak mau tenaga
kesehatan khususnya yang berhadapan langsung dengan pasien seperti dokter,
bidan, perawat, dan lain sebagainya seharusnya memahami ilmu tentang hukum
kesehatan ini.
Munculnya UU tentang pokok-pokok
kesehatan tahun 1960, belum begitu tergali dengan baik, UU nomor 23 Tahun 1992
tentang kesehatan, masyarakat sudah mulai mempunyai acuan dan pedoman walaupun
belum sempurna sampai dicabut dan diganti dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun
2009. Pada tahun 2004, muncul UU nomor 29 tentang praktik kedokteran yang
dikeluarkan oleh pemerintah atas dasar antisipasi bahwa, saat ini adanya
anggapan banyak institusi pendidikan tenaga kesehatan menghasilkan tenaga yang
belum siap pakai atau diduga akan melakukan “malpraktik”, isu perlindungan
terhadap pelayanan kepada pasien dengan membatasi praktik dokter hanya di tiga
tempat saja. Di samping itu, yang terpenting Undang-Undang Praktik Kedokteran
Nomor 29 Tahun 2004 juga memuat “muatan” perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan. Seiring dengan diundangkanya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang rumah sakit, juga menyinggung hak dan kewajiban yang tidak saja
menyangkut rumah sakit, tetapi juga menyangkut hak dan kewajiban pasien dan
dokternya.
Di Indonesia, sebelum Undang-Undang Dasar
1945 diubah (amandemen), pembuat undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (UU No. 23 Tahun 1992). Pasal 1 Angka (3) UU No. 23 Tahun 1992
menyatakan bahwa:
Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Maka secara komplisit UU No. 23 Tahun
1992 mengklasifikasi hukum kedokteran (medical
law) merupakan bagian dari hukum kesehatan (health law). Klasifikasi ini menjadi jelas ketika Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran (UU No. 29 Tahun 2004). Di dalam penjelasan umumnya, UU No. 29 Tahun
2004 menyatakan:
Dokter dan
dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung
dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.
Selanjutnya Pasal 3 UU No. 29 Tahun 2004
menentukan bahwa pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
1.
Memberikan
perlindungan kepada pasien
2.
Mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan medis
yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
3.
Memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Saat ini
masyarakat semakin berkembang, dapat mengakses informasi dari berbagai sumber
seperti internet melalui dunia maya, masyarakat semakin cerdas, masyarakat
semakin tahu akan hak-haknya apalagi kesehatan juga adalah Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat berhak untuk mendapatkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, sehingga apabila hak mereka tidak diberikan maka masyarakat
bukan hanya menerima seperti dulu, atau menganggap “dokter sebagai dewa” dan masyarakat tidak pasif malah menjadi aktif
dan tidak segan untuk membawa ke ranah hukum. Bagi tenaga-tenaga kesehatan hal
ini bukanlah untuk menjadi momok atau rasa takut, karena akan menimbulkan “defensive medicine”, karena di dunia
kedokteran maupun dunia pelayanan kesehatan, dokter, bidan, perawat bukanlah malaikat, tetapi tetap manusia biasa
dengan segala kelebihan dan kelemahannya. Dokter dan tenaga kesehatan lainya adalah tenaga kesehatan yang sangat
dipercaya, yang pada prinsipnya yang mempunyai perilaku yang beretika yaitu
perilaku yang mendatangkan kebajikan, benar, mendatangkan kebahagiaan dan
bertanggung jawab. Untuk itu tenaga kesehatan haruslah berjalan di rambu-rambu
yang telah digariskan, adanya standar pelayanan minimal, adanya standart
operasional prosedur, adanya audit medis yang dievaluasi secara
berkesinambungan, dan kewajiban menambah ilmu pengetahuan.
Beberapa
pengertian hukum kesehatan dapat dilihat dari beberapa sumber:
1.
Perhuki
(Perhimpunan Hukum Kekuatan Indonesia)
Perhuki dalam pasal 1
Anggaran Dasarnya menyatakan:
“Hukum
Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapanya serta hak dan kewajiban baik
perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek
organisasi: sarana pedoman medis nasional/internasional, hokum di bidang
kedokteran kesehatan. Yang dimaksud dengan hokum kedokteran ialah bagian hokum
kesehatan yang menyangkut pelayanan medis” (Veronica, 1989).
Dapat dilihat kalau fokus hukum
kesehatan menurut perhuki menyangkut pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan pihak
yang terkait adalah perseorangan dan segenap lapisan masyarakat penerima
pelayanan kesehatan (pasien) dan pihak penyelenggara (tenaga kesehatan) dalam
segala aspeknya.
2.
BPHN
(Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Tim Pengkajian Hukum Kedokteran BPHN menyatakan pemahaman
tentang Hukum Kesehatan adalah :
“Ketentuan –
ketentuan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari tenaga
kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan, maupun dari individu dan
masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspeknya , yaitu
aspek promotif, preventif , kuratif , rehabilitatif , dan diperhatikan pula
aspek organisasi dan sarana pedoman – pedoman medis internasional , hukum
kebiasaan , dan hukum otonom dibidang kesehatan , ilmu pengetahuan, dan
literatur medis merupakan pula sumber hukum kesehatan.” (Veronica, 1989)
Menurut BPHN pada prinsipnya tidak
jauh berbeda dengan pengertian Perhuki , fokus hukum kesehatan tetap pada
pelayanan kesehatan yang mengatur pihak terkait tenaga kesehatan dan masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan. Di sini diatur tentang hak dan kewajiban
yang melingkupi segala aspek upaya kesehatan mulai dari preventif , promotif ,
kuratif , dan rehabilitatif.
3.
H.J.J.
Lennen (Pakar Hukum)
H.J.J. Lenner (1988) mengatakan
pengertian sebagai berikut.
“Hukum kesehatan merupakan
keseluruhan ketentuan – ketentuan hukum yang berkaitan langsung dengan
pelayanan kesehatan dan penerapan kaidah-kaidah hukum perdata, hukum
administrasi negara, dan hukum pidana dalam kaitannya dengan hal tersebut.”
Lennen tersebut memberikan kejelasan
tentang apa yang dimaksud dengan cabang baru dalam ilmu hukum , yaitu hal – hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan
tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian
karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang – undangan saja tetapi
mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas–asas yang berlaku secara
internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.
Disebutkan pula pedoman
internasional, hukum kebiasaan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu dan literatur, menjadi sumber hukum
kesehatan. Penjelasan lebih lanjut yaitu seluruh ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan bidang pemeliharaan kesehatan. Pengertian istilah
ketentuan lebih luas dari istilah peraturan hukum, karena peraturan hukum
umumnya tertulis. Pengertian ketentuan hukum lebih luas dari pengertian
peraturan hukum karena termasuk pula hukum tidak tertulis. Ketentuan tidak
langsung yang berhubungan dengan hukum kesehatan meliputi pidana, perdata, dan
administratif.
Prof H.J.J. Lennen dalam memberi
pengertiannya tetap fokus dalam pelayanan kesehatan , dan disini disebutkan
penerapan dalam kaidah – kaidah hukum serta sumber hukum kesehatan.
4.
Van
Der Mijn
Van Der Mijn dalam makalahnya menyatakan :
“....health law as the body of rules that relates directly
to the care of health as well as the applicatios of general civil , criminal ,
and adminstrative law”(Dikutip dari Artikel Faiq Bafen,2010)
Artinya kurang lebih adalah :
“Seperangkat ketentuan yang secara langsung berhubungan baik
dengan perawatan kesehatan maupun hukum sipil umum (perdata), hukum pidana, dan
hukum administrasi negara.”
Pada prinsipnya Van Der Mijn juga
tidak berbeda jauh, dan menambahkan kalau hukum kedokteran adalah bagian dari
hukum kesehatan. Dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan
kompleks. Menurut Jayasuriya (1997) ditemukan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kesehatan sejumlah 30 macam.
Secara umum dari lingkup hukum
kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung di dalamnya pada asasnya
adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi
penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai.
Jayasuriya(1997) bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan
menyatakan ada lima fungsi mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan
perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian
terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.
Menurut Peter Ippel (1986) yang
dikutip oleh Faiq Bafen (2010), hukum kesehatan tidak terdapat dalam satu
bentuk peraturan khusus, tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Ada yang terletak di bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum
administrasi yang penerapan, penafsiran serta penilaian terhadap faktanya di
bidang medis. Diketemukan juga istilah “kedokteran kehakiman” (Gerechtelijke geneeskunde) yang
termasuk disiplin medis dan Hukum Medis (Medical
Law) termasuk disiplin hukum
.
C. Ciri – ciri hukum kesehatan
Dari
beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan ciri ciri hukum kesehatan
sebagai berikut.
1.
Merupakan
seperangkat ketentuan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan.
2.
Ketentuan–ketentuan
tersebut mengatur hubungan hukum antara dua pihak :
a)
Penyelenggara
pelayanan kesehatan
b)
Penerima
pelayangan kesehatan
3.
Didalam
hukum kesehatan terdapat berbagai macam aspek :
a)
Aspek
promotif (peningkatan kesehatan)
b)
Aspek
Preventif (pencegahan penyakit)
c)
Aspek
kuratif (penyembuhan penyakit)
d)
Aspek
rehabilitatif (pemulihan kesehatan)
e)
Aspek
organisasi
f)
Aspek
sarana
4.
Didalam
hukum kesehatan diterapkan kaidah - kaidah hukum perdata, hukum pidana, dan
hukum administrasi negara
5.
Sumber
hukum bagi hukum kesehatan adalah :
a)
Ketentuan
– ketentuan hukum nasional
b)
Pedoman
– pedoman medis nasional
c)
Pedoman
– pedoman medis internasional
d)
Hukum
kebiasaan
e)
Yurisprudensi
f)
Ilmu
pengetahuan dan literatur medis
6.
Hukum
kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan
D. Pengelompokan
Hukum Kesehatan
Prof H.J.J.
Lennen selanjutnya mengelompokkan hukum kesehatan ini dalam beberapa kelompok,
yang akan dapat kita lihat apakah terdapat dalam hukum positif Indonesia
(peraturan perundang – undangan) yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini
Undang-Undang Nomor 36 Thun 2009 tentang Kesehatan.
Kelompok I : Hak atas pemeliharaan kesehatan,
hak atas bantuan medis, tanggung jawab pribadi atas pemeliharaan kesehatan, hak
menentukan nasib sendiri, peranan penguasa dalam pemeliharaan kesehatan, fungsi
peraturan perundang- undangan dan hukum dalam pemeliharaan.
Kelompok II : Berbagai hak yang sangat relevan
dengan nilai –nilai hidup kemasyarakatan dan agama , misalnya: hak untuk hidup,
hak atas tubuh sendiri, inseminasi buatan, sterilisasi, abortus,
transeksualisme, euthanasia.
Kelompok III : Mengenai pelaksanaan profesi, antara
lain: UU tentang Pelaksanaan Profesi Dokter, kedudukan dokter perusahaan,
dokter asuransi, ilmu kedoktersn militer, peraturan perundang – undangan
mengenai dokter gigi, UU tentang Pengadaan Obat-obatan , wewenang apoteker,
industri obat-obatan, UU tentang Pekerjaan Paramedis, UU tentang perawat, UU
Disiplin Medis, psikolog dalam pelayanan kesehatan, wewenang ahli kimia.
Kelompok IV : Mengenai hubungan perdata, antara
lain: perjanjian antara dokter dan pasien, informasi kepada pasien, perizinan
bagi perawatan medis, pemilihan dokter yang bebas dan penolakan perawatan
medis, hubungan antara dokter dengan pemberi dana kesehatan, hubungan dokter
dengan rumah sakit, hubungan dokter dengan tenaga kesehatan lain,dokter
pengganti dan pengoperan praktik,pertanggungjawaban dokter, dokter gigi dan
apoteker, pertanggungjawaban perawat, pertanggungjawaban rumah sakit, struktur
yuridis rumah sakit dan fungsi rumah sakit.
Kelompok V :Berbagai dan bagaimana aspek
keperdataan diatu dalam hukum kesehatan.
Kelompok VI :Berbagai aspek hukum pidana, antara
lain: pertanggungjawaban pelaksanaan profesi kesehatan, kewajiban melaporkan
perbuatan pidana, dan sebagainya. Bagaimana dengan aspek pidana?
Kelompok VII :Pemeliharaan
kesehatan kuratif
Kelompok VIII :
Pemeliharaan kesehatan preventif, promotif, dan sosial.
Kelompok IX :
Peraturan-peraturan Internasional dalam UU.
Kelompok X :
Kesehatan Lingkungan.
Kelompok XI :
Undang-undang tentang Pengawasan Obat dan makanan.
Kelompok XII : Peraturan perundang-undangan tentang
organisasi, antara lain: UU tentang Pengawasan Negara atas Kesehatan Rakyat, UU
tentang Pengadaan Rumah Sakit, peraturan organisasi pemeliharaan kesehatan
swasta dan organisasi tenaga profesional.
Kelompok XIII : UU
tentang Asuransi biaya sakit serta pengaturan subsidi.
Kelompok XIV : Hukum kesehatan Internasional, antara
lain ketentuan – ketentuan WHO dan konvensi Jenewa.
Dari
pengelompokan Prof.H.J.J. Lennen ini, terdapat di hukum atau perundangan-undangan
kita yang diatur, tetapi tidak dimasukkan olen Lennen dalam pengelompokan hukum
kesehatan. Seperti misalnya, ketentuan tentang hukum perdata, dalam hubungan
dokter dengan pasien, di Undang- Undang Kesehatan saat ini hanya mengenal
istilah tenaga kesehatan dan tidak menyebutkan istilah profesi “dokter”.
Disamping itu juga tidak diatur ketentuan hukum internasional. Hukum kesehatan
di masa mendatang, Hermien Hadiati Koeswadji (2002). Mencatat bahwa dari apa
yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus
ditingkatkan untuk:
1.
Membudayakan
perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk
seluruh masyarakat.
2.
Mengutamakan
upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
3.
Mendorong
kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang
diperlukan.
4.
Memberikan
jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan.
5.
Mengendalikan
biaya kesehatan.
6.
Memelihara
adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan
kesehatan.
7.
Meningkatkan
kerja sama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat
melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara
efisien, efektif, dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat.
Untuk
itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk
menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah
ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.
Menurut Faiq Bafen (2010), beberapa hal yang perlu menjadi
pertimbangan di sini adalahyang berkaitan dengan:
1.
Eksistensi
Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus
merupakan organisasi yang independen, sehingga dapat memberikan pertimbangan
lebih akurat.
2.
Perlu
dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut
merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar
yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil
Kedokteran Indoneisa sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran.
3.
Perlu
dibangun lembaga registrasi, tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai
kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehtan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi perana Konsil Kedokteran
Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting.
4.
Perlu
dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk
tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang nomor 29 tahun 2004.
5.
Perlu
dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.
E. Perkembangan UU
Kesehatan
Undang – undang kesehatan yang pertama
muncul Undang – Undang Nomer 9 Tahun 1960 tentang Pokok – Pokok Kesehatan. Yang
sangat prioritas pada waktu itu dimunculkan pengaturan masalah aborsi di Pasal
15 yang dibolehkan dengan dasar indikasi medis. Dalam Undang – Undang Nomer 23
Tahun 1992 sudah banyak yang diatur, tetapi ada beberapa yang tidak dimuat sama
sekali, seperti kesehatan matra, euthanasia dan lain sebagainya.
Pada tahun 2004 masyarakat kedokteran
mendapat kehormatan dengn munculnya
pengaturan khusus mengenai profesi di bidang kedokteran yaitu Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini juga
menimbulkan pro dan kontra pada saat itu, terutama tentang kewajiban-kewajiban
tenaga dokter harus mempunyai registrasi yang benar dan Surat Izin Praktik.
Praktik hanya boleh maksimal di yiga tempat dan beberapa klausul pasal yang
mempunyai saknsi pidana yang sepertinya tidak berpihak pada profesi kedokteran.
Undang-Undang ini juga membuat sarana kesehatan harus berbenah diri agar tidak
dibilang melanggar peraturan.
Tahun 2009 jugadiundangkannya UU Nomor 44
tentang Rumah Sakit yang juga bermuatan tentang Hak dan Kewajiban Rumah Sakit,
hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasiennya dan mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan, perbekalan kesehatan, dan lain
sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
bahwa kesehatan adalah Hak Asasi Manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
aam Pancasila dan UUD 1945, bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan
berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta
eningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Maka pada
bulan Oktober 2009 lahirlah Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang lebih luas, lebih banyak subtansi yang diaturnya serta lebih
terinci dan jelas pengaturannya.
2.2 Kesehatan Masyarakat
2.2.1 Pengertian kesehatan masyarakat
Menurut Winslow, kesehatan masyarakat
adalah ilmu dan seni untuk mencegah penyakit, memperpanjang hidup/umur, dan
meningkatkan derajat kesehatan dan efisiensi melaui upaya komunitas yang
terorganisir untuk :
1. Perbaikan sanitasi lingkungan
2. Pemberantasan penyakit menular
3. Pendidikan untuk kebersihan perorangan
4. Pengorganisasian pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini
dan pengobatan
5. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap
orang terpunuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatan.
Dari definisi di atas, terdapat tiga
sifat utama yang menjadi ciri dari kesehatan masyarakat, yaitu holistik,
multidisiplin dan pemecahan masalah. Ketiga sifat ini berlaku baik bagi ilmu
kesehatan masyarakat dalam mengembangkan konsep, model, teori, maupun dalam
menjalankan profesi kesehatan masyarakat.
2.2.2 Empat Pilar Kesehatan
1.
Usaha
pencegahan (usaha preventif)
Upaya
preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya
sesuatu yang tidak diinginkan. Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa
latin, pravenire yang artinya datang sebelum atau antisipasi atau
mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas,
prevensi diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah
terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat
Upaya preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit dan gangguan kesehatan individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
Usaha-usaha yang dilakukan, yaitu :
a. Pemeriksaan kesehatan secara berkala (balita, bumil, remaja, usila,dll)
melalui posyandu, puskesmas, maupun kunjungan rumah
b.Pemberian Vitamin A, Yodium melalui posyandu, puskesmas, maupun dirumah
c. Pemeriksaan dan pemeliharaan kehamilan, nifas dan
menyusui
d.Deteksi dini kasus dan factor resiko (maternal, balita, penyakit).
e. Imunisasi terhadap bayi dan anak balita serta ibu hamil
2.
Usaha pengobatan (usaha kuratif)
Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati anggota keluarga,
kelompok yang menderita penyakit atau masalah kesehatan.
Usaha-usaha
yang dilakukan, yaitu :
a. Dukungan penyembuhan, perawatan, contohnya : dukungan
psikis penderita TB
b.Perawatan orang sakit sebagai tindak lanjut perawatan dari puskesmas dan
rumah sakit
c. Perawatan ibu hamil dengan kondisi patologis dirumah,
ibu bersalin dan nifas
d.Perawatan payudara
e. Perawatan tali pusat bayi baru lahir
f. Pemberian obat : Fe, Vitamin A, oralit.
3.
Usaha rehabilitasi
Merupakan upaya pemulihan
kesehatan bagi penderita-penderita yang dirawat dirumah, maupun terhadap
kelompok-kelompok tertentu yang menderita penyakit yang sama.
Usaha yang dilakukan, yaitu:
a. Latihan fisik bagi yang mengalami gangguan fisik seperti, patah tulang,
kelainan bawaan
b.Latihan fisik
tertentu bagi penderita penyakit tertentu misalnya, TBC (latihan nafas dan
batuk), Stroke (fisioterapi).
4. Promotif
Promotifadalah usaha mempromosikan kesehatan kepada masyarakat. Upaya promotif
dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu,keluarga, kelompok dan
masyarakat. Setiap individu berhak untuk menentukan nasib sendiri, mendapat
informasi yang cukup dan untuk berperan di segala aspek pemeliharaan
kesehatannya.
Usaha ini merupakan pelayanan
terhadap pemeliharaan kesehatan pada umumnya. Beberapa usaha diantaranya :
a. Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya.
b. Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, seperti : penyediaan air rumah
tangga yang baik, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air limbah dan
sebagainya.
c. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat sesuai kebutuhannya.
d. Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian yang baik.
Dari keempat pilar tersebut, Kesehatan Masyarakat hanya menerapkan
pendekatan secara promotif dan preventif dan secara tidak langsung juga
menerapkan upaya protectif atau perlindungan. Dari keempat
jenis usaha ini, usaha pencegahan penyakit mendapat tempat yang utama, karena
dengan usaha pencegahan akan diperoleh hasil yang lebih baik, serta memerlukan
biaya yang lebih murah dibandingkan dengan usaha pengobatan maupun
rehabilitasi.
2.3 Hubungan Etika dengan Filsafat.
Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk. Etika berhubungan dengan apa yang pantas dan bagaimana orang melakukan
hubungan dengan orang lain. Didalam etika terdapat ajaran berupa moral, nilai
estetika dan nilai lain berkaitan dengan nilai kemanusiaan. Etika merupakan
ajaran yang menjadi pedoman atau buku petunjuk bagi mnusia dalam menjalankan
atau melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sewajarnya dalam kehidupannya.
Dalam etika, pertimbangannya sudah dilakukan secara sistematis
karena menyangkut adab dan kebiasaan manusia. Penyelewengan sesuatu yang sudah
ditetapkan dalam etika biasanya akan menimbulkan suatu bentuk citra yang
negatif atau menimbulkan pendapat negatif bagi pelaku pelanggar norma etika.
Sudah dijelaskan dalam bab diatas, bahwa etika adalah
cabang ilmu filsafat yang masuk dalam Dasar ilmu aksiologi, dimana aksiologi
sendiri membahas tentang nilai-nilai baik etika, estetika dan humaniologi. Jika
sudah ditemukan hubungan antar keduanya, maka pengertian etika jika ditinjau
dari segi filsafat adalah cabang ilmu filsafat mengenai
suatu penelitian kritis dan mendasar dari yang baik, yang pantas dan benar dari
ajaran moral.
2.4 Hubungan Hukum dengan Filsafat
Hukum adalah peraturan, ketentuan, dan ketetapan yang telah
disepakati oleh masyarakat dan para penegak hukum, yang harus dilaksanakan
sebaik-baiknya. Hukum mengandung sanksi tertentu untuk diterapkan pada
pelanggar hukum.
Dalam filsafat dikenal salah satu cabangnya yaitu
aksiologi, didalam aksiologi dipelajari humanologi yang mempelajari hubungan
antar manusia. Hukum adalah suatu
perangkat yang mengatur kehidupan masyarakat. Dengan demikian hukum berkaitan
dengan filsafat yaitu dalam humanologi.
2.5 Persamaan dan Perbedaan Antara Etika dan Hukum
Persamaan antara etika kesehatan dan hukum
kesehatan:
1.
Etika dan hukum sama-sama alat untuk mengukur
tertibnya hidup bermasyarakat dalam bidang kesehatan.
2.
Sebagi objeknya adalah sam yaitu masyarakat
baik yang sakit maupun yang sehat.
3.
Masing-masing mengatur hak dan kewajiban antara
kedua kedua belah pihak, baik pihak yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
maupun pihak yang menerim pelayanan kesehatan.
4.
Baik etika maupun etika kesehatan merupakan
hasil pemikiran dari pakar serta pengalaman para praktisi bidang kesehatan.
5.
Keduanya mengunggah kesadaran untuk bersikap
manusiawi, baik penyelenggara maupun penerima pelayanan kesehatan.
Perbedaan antara etika kesehatan dan hukum
kesehatan:
1.
Etika kesehatan hanya berlangsung di lingkungan
masing-masing profesi kesehatan, sedangkan hukum kesehatan berlaku untuk umum.
2.
Etika kesehatan disusun berdasarkan kesepakatan
anggota masing-masing profesi, sedangkan huum kesehatan disusun oleh pemerintah
baik legislatif maupun eksekutif.
3.
Etika kesehatan tidak semuanya tertulis,
sedangakan huum kesehatan semua tercantum atau tertulis secar rinci dalam kitab
undang-undang lembaran negara lainnya.
4.
Sanksi terhadap pengaaran etika kesehatan
berupa tuntutan dan biasanya dari organisasi profesi, sedangkan pelanggaran
hukum kesehatan berupa tuntutan yang berujung pada pidana atau hukuman.
5.
Pelanggaran etika kesehatan diselesaikan oleh
Majelis Kehormatan Etika Profesi dari masing-masing organisasi profesi,
sedangkan pelanggaran hukum kesehatan diselesaikan lewat pengadilan.
6.
Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu
disertai bukti fisik seangkan pelanggaran hukum kesehatan memerlukan pembuktian
dengan bukti fisik.
2.6 Hubungan etika dengan hukum masyarakat
a. Hukum kesehatan lebih diutamakan
dibanding Etika kesehatan.
Contoh: Mantri
dapat memberi suntikan tanpa ada dokter tapi Hukum kesehatan tidak membenarkan
ini.
b. Ketentuan hukum kesehatan dapat
mengesampingkan etika tenaga kesehatan.
Contoh:
kerahasian dokter (etika kedokteraan) jika terkait dengan masalah hukum maka
dikesampingkan.
c. Etika kesehatan lebih diutamakan
dari etika dokter. Dokter dilarang mengiklankan diri, tapi dalam menulis
artikel kesehatan tidak masalah.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan penulis diatas, maka penulis membuat kesmpulan sebagai berikut:
1.
Pengertian
etika jika ditinjau dari segi filsafat adalah cabang ilmu
filsafat mengenai suatu penelitian kritis dan mendasar dari yang baik, yang
pantas dan benar dari ajaran moral.
2.
Hukum
adalah suatu perangkat yang mengatur
kehidupan masyarakat.
3.
Hukum kesehatan
lebih diutamakan dibanding etika kesehatan. Ketentuan hukum kesehatan dapat
mengesampingkan etika tenaga kesehatan
3.2 Saran
Berdasarkan uraian dari makalah konsep
etika dan
hokum kesehatan, maka penulis ingin memberikan saran sebagai berikut:
- Dengan adanya makalah ini hendaknya pembaca khususnya mahasiswa kesehatan masyarakat lebih memahami tentang konsep etik dan hukum kesehatan.
- Mahasiswa dan perawat dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Bawono, B. T. (2011). KEBIJAKAN HUKUM
PIDANA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MALPRAKTIK PROFESI MEDIS. Jurnal Hukum,
453-473.
Hiswanil, & Thalal, M. (t.thn.). Aspek
Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehatan, 72-75.
kansil. (1991). Pengantar Hukum Kesehatan
Indonesia. Jakarta: PT. MELTON PUTRA.
Nugrahaeni, D. K. (2011). Konsep Dasar
Epidemiologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Siswati, S. (2013). Etika dan Hukum
Kesehatan ( dalam perspektif Undang-Undang Kesehatan ). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Suma, J. (t.thn.). Tanggung Jawab Hukum dan
Etika Kesehatan. Jurnal Kesehatan, 84-96.
Triwibowo, C. (2014). Etika dan Hukum
Kesehatan . Yogyakarta: Nuha Medika.
Wahyudi, S. (2011). Tanggung Jawab Rumah
Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal
Dinamika Hukum, 506-521.
0 Response to " "
Posting Komentar